Nezia Mavitau Rustyana – 27 Desember 2019
Gambaran tentang Yesus bagi sebagian besar umat Kristiani hingga saat ini jauh lebih menekankan sisi keilahiannya, seperti peristiwa kematian dan kebangkitannya, daripada Yesus sebagai manusia dalam sejarah. Dalam anggapan banyak orang Kristiani, bicara tentang Yesus acapkali cukup diwakili dengan iman. Tidak heran bila penolakan terhadap deskripsi Yesus-sebagai-manusia-dalam-sejarah segera menyeruak sejak buku laris karya Reza Aslan, Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth, pertama kali terbit pada 2013.
Identitas sebagai Muslim dari lulusan doktoral University of California Santa Barbara itu turut dianggap memengaruhi subjektifitas dalam penulisan bukunya. Padahal, seperti diakui Aslan sendiri, karya itu tak lain hanya penerjemahan dengan bahasa populer dari karya-karya akademik yang sudah berlangsung lama dalam kajian Yesus sejarah (the Jesus of history), bukan Kristus ilahi yang diimani umat Kristiani (the Christ of faith).
Buku Aslan itu lebih tepat dibaca bukan sebagai buku yang mengajak untuk menolak keilahian Yesus (karena memang bukan itu tujuannya), melainkan buku yang ingin menawarkan rekonstruksi sejarah berdasar pada bukti-bukti yang diakui di lingkungan akademik, khususnya dengan bekal dokumen-dokumen di luar Alkitab sebagai konfirmasi. Aslan berpandangan bahwa klaim “Yesus adalah 100 persen ilahi sekaligus 100 persen manusia” mestinya memberi jalan bagi kajian tentang Yesus sejarah.
Dalam membaca bukunya, Aslan memang mengusulkan bahwa persoalan iman dan kajian sejarah butuh dipisahkan sejenak, tetapi ini tak niscaya berarti bahwa iman dan ilmu pengetahuan tidak kompatibel. Buku Aslan itu tetap berkesimpulan bahwa, bahkan bagi orang yang tidak mengimani keilahian Yesus sekalipun, Yesus tetap merupakan salah satu figur terbesar dalam sejarah manusia.
Yesus-manusia dalam Alkitab
Alkitab jelas menyatakan bahwa Yesus adalah seratus persen manusia yang mempunyai keluarga dengan saudara laki-laki dan perempuan kandung (Yesus adalah yang sulung, lihat Lukas 2:7). Bahkan dalam Markus 3:21, saudara-saudaranya sempat mengakui ketidakwarasan Yesus, yang secara tidak langsung memperkuat sisi kemanusiaan Yesus dari pandangan orang-orang terdekatnya. Beberapa bagian dalam Alkitab juga menggambarkan dengan jelas bahwa Yesus adalah orang Nazaret, sementara kitab Yesaya 7:14 menarasikan nubuat dari Nabi Yesaya (700 tahun sebelum Yesus) yang menyatakan bahwa Mesias yang dijanjikan bagi bangsa Yahudi datang dari Betlehem. Sayangnya, seperti penjelasan Aslan dalam bukunya, kelahiran Yesus di Betlehem hanya ditulis dalam Matius dan Lukas dan sepenggal dalam Yohanes 7:4 yang kemungkinan besar baru ditulis setelah kehancuran Yerusalem di tahun 70 M. Tulisan-tulisan pascaperistiwa ini, bagi Aslan, mempunyai kecenderungan eksklusif untuk mempertahankan gambaran tentang Yesus sebagai Kristus-ilahi, yang kemudian diproyeksikan ke belakang.
Nazaret sendiri merupakan sebuah desa kecil dan terpencil dari wilayah Galilea yang didominasi orang-orang yang buta huruf dan bekerja sebagai petani atau buruh. Yesus lahir dalam latar komunitas seperti ini. Sebagai tukang kayu (Markus 6:3) dari Nazaret, keterangan bahwa Yesus berperilaku seperti cendekiawan memerlukan banyak dukungan bukti. Sayang sekali, keluarbiasaan Yesus dalam menguasai hukum-hukum Yahudi sulit untuk benar-benar dapat dibuktikan dengan data dari luar Alkitab. Kehadiran Yesus di kisah-kisah Alkitab sendiri tidak cukup detail, bahkan masa remaja Yesus tidak pernah ditulis di sana. Alkitab hanya menyediakan cerita Yesus di usia 12 tahun kemudian melompat ke Yesus usia 30 sampai kematiannya di usia 33. Narasi dalam Alkitab menyatakan bahwa tiba-tiba di usia 30 Yesus datang dengan mukjizat-mukjizatnya. Hilangnya sejarah Yesus dalam rentang waktu yang lama ini menimbulkan perdebatan.
Dalam penuturan Aslan, dengan bersumber pada penulusuran para sejarawan terhadap figur Yesus-sejarah dari dokumen-dokumen orang Romawi, banyak “orang pintar” atau “pekerja mukjizat” (miracle workers) muncul di tanah Palestina zaman itu, dan Yesus ‘hanyalah’ salah satu dari mereka. Aslan menambahkan bahwa, dalam terang kajian sosiologi agama, para mesias atau ‘ratu adil’ acapkali muncul di alam pikir keagamaan masyarakat yang tertindas, yang biasanya akan bertaut erat dengan narasi kosmologis masyarakat tersebut. Yesus termasuk yang membawa misi mesianik itu: membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi. Dalam narasi yang demikian ini, Yesus tidak tampak istimewa, lebih-lebih untuk mengklaim sebagai Tuhan, kecuali dalam satu hal: sementara para pekerja mukjizat lain menjual jasanya, Yesus memberikan ‘jasa mukjizat’-nya dan mengobati orang-orang sakit tanpa mengharap imbalan.
Pertanyaannya kemudian: dari mana muncul klaim tentang Yesus sebagai Kristus-ilahi? Satu-satunya ayat yang eksplisit ketika Yesus menggunakan kata “aku” untuk menerangkan identitasnya ada di Yohanes 13:13: “Kamu menyebut aku adalah guru dan Tuhan dan katamu itu tepat sebab memang akulah guru dan Tuhan.” Namun terjemahan ini mungkin mengandung pembelokan makna karena kata asli yang dipakai, “Mar”, dalam bahasa Aram yang merupakan bahasa sehari-hari Yesus, begitu saja diterjemahkan ke bahasa Yunani menjadi “Kurios”, yang kemudian sering diterjemahkan “Tuhan”. “Mar” lebih tepat dimaknai “tuan” (lord) yang di komunitas berbahasa Aram waktu itu dipakai untuk memanggil orang yang dihormati. Kenyataan bahwa hanya di Yohanes muncul penekanan keilahian Yesus membuat susah untuk menghindari prasangka bahwa narasi itu muncul bukan sebagai narasi sejarah, melainkan lebih sebagai narasi ajaran yang membawa pesan tertentu untuk komunitas pembacanya.
Mesias yang dijanjikan atau revolusioner Yahudi?
Citra Yesus sebagai pembawa misi Allah telah dideklarasikannya sejak pertama kali ia muncul di publik di usia 12 (lihat Lukas 2:49). Yesus sebagai mesias dalam hal ini dirujukkan pada istilah Perjanjian Lama tentang “dia yang diurapi”. Dalam Perjanjian Lama, makna urapan ini juga diterima oleh Saul, Daud, Salomo, juga Nabi Elia yang mempunyai kedekatan dengan Tuhan. Orang yang diurapi Tuhan tidak serta merta berarti menjadi Tuhan sebab, sebagaimana Yesus diurapi, demikian juga raja-raja Israel lainnya diurapi.
Orang-orang yang diurapi dari masa ke masa selalu terikat dengan tujuan menggelar kerajaan Allah di bumi. Yesus juga sadar akan dirinya yang membasa misi mulia ini. Misi ini sering dikaitkan dengan narasi Lukas 4:18-19 tentang Yesus yang membawa kabar baik bagi orang miskin, mengupayakan pembebasan bagi orang yang ditawan dan ditindas, memberi penglihatan bagi orang yang buta, dan memberitahukan bahwa rahmat Tuhan telah datang. Ayat ini terkait dengan pesan pokok dari buku Aslan: bahwa Yesus mungkin lebih merupakan seorang revolusioner Yahudi dengan semangat patriotik yang tinggi yang bermisi menegakkan keadilan bagi bangsanya. Yesus yang tumbuh sebagai orang Yahudi di tengah penjajahan Romawi sejak 60 tahun sebelumnya ini secara tidak langsung turut merasakan kesedihan seperti yang dialami orang-orang Yahudi pada umumnya, terutama orang-orang dari kelas ekonomi rendah.
Dalam kacamata penjajah Romawi saat itu, para pemberontak disebut “bandit”. Yesus adalah bagian dari “bandit” itu, yang tercermin dalam judul buku Aslan, Zealot, yakni orang fanatik pemberontak yang ingin meruntuhkan status quo, tetapi kehadiran mereka sangat bermakna bagi orang-orang Yahudi yang tertindas. Lebih dari melawan penjajahan, Yesus juga melawan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang malah menjadi kaki tangan Romawi dan ikut menjustifikasi pemungutan pajak secara paksa dan berlebihan. Dalam hal ini, Yesus sekali lagi adalah seorang revolusioner Yahudi.
Dalam penuturan Aslan, satu hal penting yang mendukung citra Yesus lebih sebagai seorang revolusioner alih-alih sebagai Kristus-ilahi ialah ‘kegagalan’ Yesus untuk membebaskan Yahudi dari penjajahan Romawi sebelum kematiannya di tiang salib, sebagaimana gambaran mesias dalam kepercayaan Yahudi. Dalam kepercayaan orang-orang Yahudi zaman itu, mesias yang dinubuatkan adalah yang berhasil membebaskan mereka dari penjajahan sebelum sang mesias itu meninggal. Aslan mengutip kajian Yesus-sejarah dari para sejarawan untuk menyatakan bahwa di sinilah signifikansi Paulus: ia berperan mengubah citra Yesus dari mesias khusus bagi Yahudi menjadi juru selamat bagi seluruh manusia, dan dengan demikian mencerabut Yesus dari prasyarat mesias dalam sistem kepercayaan Yahudi.
Buku Aslan tampak sekali menekankan, sebagaimana diamini banyak pengkaji Yesus-sejarah (tentu bukan tanpa kontroversi), bahwa Paulus adalah figur sentral dari transformasi Yesus-sejarah (revolusioner eksklusif untuk bangsa Yahudi) menjadi Kristus-ilahi (juru penyelamat semua manusia). Dalam penafsiran Alkitab, perspektif ini akan amat besar dampaknya (misalnya untuk membaca penyaliban sebagai penebusan dosa umat manusia), terutama ketika mengingat bahwa sebagian besar Perjanjian Baru ditulis oleh Paulus dan murid-muridnya, baik langsung maupun tak langsung. Dalam perspektif ini, sulit untuk menolak ada pengaruh “teologi Paulus” dalam penggambaran tentang Yesus, meski seberapa banyak kadar pengaruh ini akan terus menuai perdebatan.
Lepas dari setuju atau tidaknya dengan peran Paulus ini, di titik itulah Kristianitas sebagai sistem doktrin berpisah dari Yudaisme. Prakarsa Paulus mengubah para pengikut ajaran Yesus yang sebelumnya harus khitan (untuk menjadi Yahudi) menjadi tidak harus. Di samping itu, sasaran misi Paulus adalah orang Romawi yang sistem kepercayaan masyarakatnya sudah terbiasa pada konsep “Anak Tuhan”, sebagiamana kaisar Romawi pun disebut “Anak Tuhan”. Doktrin ini jelas berbeda dari monoteisme Yudaisme yang ketat. Namun demikian, ini tak berarti bahwa citra revolusioner Yesus di masyarakat Romawi hilang. Dalam narasi Aslan, setiap klaim sebagai “Anak Tuhan” di masyarakat Romawi adalah sama belaka dengan klaim subversi terhadap pemerintahan kaisar Romawi.
Figur pembebasan
Buku Aslan lebih merupakan kajian sejarah, yang berniatan bisa mematuhi prosedur akademis, meski untuk konsumsi populer. Tetapi tak kalah penting diingat, Aslan menulis buku itu dengan tetap berusaha menjaga mata simpati, apalagi mengingat bahwa Aslan sendiri di masa remajanya pernah menjadi Kristen evangelis. Di samping mengkaji Yesus-sejarah, Aslan juga menulis tentang Islam dengan kritik sejarah yang tak kurang kontroversial, yakni No god but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam (2005).
Tentu saja Zealot bukan buku teologi, dan karena itu klaim-klaim di dalamnya tak mudah diterima oleh “iman” Kristiani, atau lebih tepatnya iman dalam pengertian doktrinal. Dalam hal ini, cukup bisa dimaklumi bila sejumlah komunitas Kristen di tanah air menolak merekomendasikan buku Aslan untuk jamaah gerejanya.
Namun demikian, satu hal yang sulit ditampik ialah nilai lebih buku Aslan yang justru bisa membawa mereka yang tak mengimani keilahian Yesus, termasuk para pembaca sekuler, pada apresiasi akan betapa agungnya figur ini. Berapa banyak orang yang berani, dengan bertaruh nyawa, melawan penindasan keji, yang turut dijustifikasi oleh para pemimpin agama sendiri? Terlepas dari mengafirmasi atau menegasikan sisi keilahian Yesus, sejarawan pada umumnya sepakat bahwa figur Yesus kala itu membawa misi menegakkan “kerajaan Tuhan di muka bumi”, yakni bumi tanpa penindasan terhadap orang-orang yang lemah.
_______________
Nezia Mavitau Rustyana adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM Angkatan 2019.
Baca tulisan lain Nezia: Siapa Berhak Berbicara atas Nama Perempuan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar