Ada kegagalan memahami Sosialis Papua ketika menyamakannya dengan
kelompok (gerakan) sion kids, mesianis, dan sejenisnya. Pejuang Papua
Merdeka yang terdidik dengan filsafat sosialis akan menjawab, bahkan
lebih utuh dan tuntas sampai ke akar-akarnya.
Ketika mengkritisi seluk beluk gerakan sosialis (apapun jenisnya), harus
melihat pangkal filsafat. Kritisilah pada filsafat materialisme
dialektika sebagai metode yang dipakai sosialis untuk memahami dan
menelah seluk beluk kehidupan. Apakah ia menghidupi gerakan perlawanan
atau tidak?
Mengapa demikian harus, karena Karl Marx buat filsafat Materialisme
Dialektik bukan untuk dipergunakan untuk kaum intelektual (akademisi)
filsafat. Tetapi, filsafatnya diperuntukan untuk kaum tertindas yang
hendak melawan dengan cara-cara praksis.
Seorang sosialis tidak buta, utopis, atau berkhayal tentang pembebasan
Papua. Karena segala bidang persoalan West Papua dapat dipelajari
sepenuh-penuhnya, sedalam-dalamnya dengan materialisme dialektik.
Makanya sangat salah bila sosialis Papua dipandang sebagai kelompok
Freedom Dream (kelompok yang memimpikan kebebasan). Kenapa salah, karena
filsafat yang dipakai kaum sosialis tidak berjuang dalam impian-impian
atau mimpi. Ia berjuang objektif dalam realitas secara progresif dan
revolusioner. Sementara yang khayal-khayal, mimpi-mimpi, dll adalah
kelompok yang dalam teori filsafat disebut idealisme. Filasafat
idealisme sangat dilawan oleh filsafat marxisme.
Kelompok (gerakan) Koreri, Zion Kids, mesianik, dll, adalah gerakan yang
masuk dalam kategori idealisme, karena melihat realitas Papua (dunia)
sebagai refleksi dari ide, pemikiran, atau jiwa seorang manusia atau
makluk maha kuasa.
Sudah lama, rakyat terpenjara dalam idealisme kolonial dan kapitalis.
Ini penyakit, yang dalam Bahasa Antonio Gramski disebut Hegemoni. Banyak
rohaniawan, akademisi, politisi, penguasa, juga yang menyebut diri
pejuang Papua Merdeka telah lama menjadi korban hegemoni. Ciri-ciri
mereka tidak susah untuk diketahui.
Banyak Organisasi Gereja yang menjerumuskan dan melanggengkan sistem dan
segala kebijakan kolonial dan kapitalis. Itu bisa kita lihat dari
khutbah-khotbah, doa-doa, dan segala pernyataan-pernyataan di muka umat
Tuhan di Papua Barat.
Banyak pengajar, akademisi kampus, yang bangga pada intelektualitas lalu
menjadi penyalur ide-ide hegemoni dari sistem dan kebijakan kolonial
dan kapitalis. Selain itu, ada penyakit yang lebih bahaya adalah
kelompok yang melihat perjuangan dengan pendekatan metafisik. Ini lebih
bahaya dan sangat ditemukan dalam filsafat sosialis Karel Marx.
Kelompok ini menggunakan ide-ide metafisik, takhayul-takhayul,
mimpi-mimpi, untuk menggerakan rakyat berjuang Papua Merdeka. Mereka
suka mengkultuskan sesuatu atau seseorang sebagai nabi, penyelamat.
Sosialisme sangat menolak ini.
Kesadaran utopis ini telah membiusi rakyat Papua untuk tidak bergerak
secara objektif melihat realitas dan bergerakan dengan metode-metode
revolusioner. Kesadaran seperti itu tidak akan pernah membuat perjuangak
bergerak maju. Ia justru stagnan (tinggal di tempat) dalam
budaya-budaya dogmatis, seremonial, formalitas, birokratis, egois,
sukuis, apatis, pragamtis,dan penyakit-penyakit lainnya.
Kaum sosialis Papua memandang kesadaran seperti itu adalah hasil dari
keberadaan (realitas hidup) orang Papua yang terjajah dan tertindas oleh
kolonial dan kapitalis (imperialis). Selain terhegemoni, kesadaran
seperti itu adalah pelarian dari ketakutan melawan penindas (kolonial
dan kapitalis).
Kaum sosialis dengan filsafat materialisme dialektik memberi kesadaran
objektif, yakni melihat realitas penindasan bukan sebagai sesuatu yang
abadi dan kekal. Keabadian menjajah dan terjajah adalah filsafat
kolonial dan kapitalis. Kita akan bangkit hancurkan surga abadinya
dengan filsafat perubahan, sosialisme.
Apakah Sosialis Papua adalah adobsi Barat?
Filsafat sosialis – materialisme dialektika- tidak mengenal, dan sangat
tidak dianjurkan untuk adobsi-adobsi. Filsafat sosialis berisi tentang
teori-teori kesadaran materi (objek) serta hukum-hukum dialektika
(perubahan) yang menjadi basis dalam memformulasikan metode-metode
perlawanan revolusioner.
Artinya, kalau metode-metode perlawanan revolusioner itu tidak sesuai
dengan, dari dan untuk kondisi objektif (realitas) maka ia bukan
sosialis yang berlandaskan materialisme dialektik. Sosialis Mao berbeda
dari Lenin. Sosialis Tan Malaka, Che Guevara, Fidel Castro, Hugo Chaves,
Walter Lini di Vanuatu, Xanana di Timor Leste, Tanzania, dan sebagainya
berbeda-beda sesuai kondisi objektif bangsanya dalam melawan
imperialisme beserta anak kandungnya kolonialisme.
Karena itu, sosialis Papua adalah jalan dalam menemukan dan
memformulasikan kembali antara teori dengan basis objektif orang Papua
di Melanesia, sebagai senjata dalam melawan dan menghancurkan musuh
sosialis yakni, imperialisme-kapitalisme yang telah melahiran dan
menjaga keabadian kolonialisme di West Papua.
Teori sosialis penting, karena musuh yang kita lawan bukan turun dari
langit, tetapi kolonialisme yang adalah anak kandung imperialisme.
Sejarah dan realitas kolonialisme di Papua tidak datang begitu. Sistem
dan segala kebijakan itu milik setan tua bernama Imperialisme yang telah
dilawan dan terus dilawan oleh kaum sosialis dunia.
Apakah Sosialis Papua Anti pada Kebudayaan dan Gereja di Papua?
Harus ada pemilahan dalam menolak dan mendukung Budaya dan Gereja di
Papua. Ada hal yang harus ditolak (dan yang ditolak adalah tentu yang
berkaitan dengan akar-akar dan kebiasaan-kebiasaan yang melahirkan
penindasan dalam budaya dan gereja di West Papua). Ada hal yang harus
didukung (yang tentu berkaitan dengan bagaimana rakyat Papua melepaskan
diri penindasan).
Sosialis Papua anti pada kebudayaan dan gereja yang melanggengkan
(mengabadikan) penindasan di West Papua. Sosialis Papua menolak
eksploitasi budaya (identitas) dan Gereja untuk mendukung aktivitas
kolonialisme dan kapitalisme di West Papua. Sosialis Papua menolak
kelas-kelas sosial budaya yang akan (bahkan sudah) menjadi agen dan
aktor borjuis kapitalis yang mendukung kolonial Indonesia.
Sosialis Papua menolak tradisi budaya yang melemahkan semangat
perjuangan revolusi West Papua. Sosialis Papua menolak kelas-kelas
sosial dalam hirarki organisasi maupun dalam pelayanan. Sosialis Papua
menolak Gereja yang membuat umatnya hanya duduk terlelap dalam ruang
gereja sambil meratapi penderitaan bangsa, tetapi tidak menyuruh umatnya
keluar berjuang, bergerak, melawan dalam realitas (kenyataan).
Sosialis Papua tidak anti pada identitas budaya dengan
tradisi-tradisinya, sepanjang itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai
kesetaraan, keadilan, kebersamaan (kerja sama/kolektifisme). Sosialis
Papua menolak mengkultusan orang-materi. Sosialis Papua menghargai dan
partisipatif terhadap keaneka ragaman suku-dan budayanya di West Papua,
tetapi menolak sukuisme dalam membangun kebangsaan-negara Papua.
Sosialis Papua menghargai, bahkan ikut memajukan budaya dan nilai-nilai
hidup orang Melanesia di West Papua, sepanjang itu bermanfaat untuk
membentuk rakyat bangsa West Papua yang setara, adil, dan kolektif dalam
berbangsa dan bernegara West Papua. Sosialis Papua menolak patriarki
dan seksisme.
Intinya, Sosialis Papua tidak bertentangan dengan budaya dan gereja di
Papua sepanjang keduanya menjadi kelompok sosial yang mendorong segenap
rakyat West Papua untuk berjuang dalam realitas penindasan dengan
kesadaran revolusioner, bukan dalam angan-angan, mimpi-mimpi, dan
gerakan-gerakan utopis. (Victor Yeimo)
Cbr, 2 Juni 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar