Semoga saya tidak berlebihan apabila berpandangan bahwa pandemik atau wabah virus corona yang melanda seluruh dunia merupakan titik balik dalam sejarah dunia manusia. Bukan hanya indeks saham dan harga minyak saja yang jatuh, melainkan tatanan dunia juga ikut jatuh. Kesimpulan sementara saya bahwa saat ini kita hidup dalam periode akhir dari liberalisme dan kapitalisme global.
Tatanan dunia juga ikut jatuh. Benar. Sebagai contoh, kemarin (4 Mei), saya membaca berita bahwa Cina telah secara resmi menyatakan tidak akan lagi menggunakan mata uang dollar dalam transaksi bursa sahamnya. Cina akan menggunakan mata uangnya sendiri, yakni Yuan. Artinya apa? Artinya tatanan dunia keuangan akan mengalami perubahan. Selain nilainya jatuh, maka mata uang dollar Amerika Serikat tidak lagi mendominasi transaksi ekonomi (keuangan) dunia. Tidak lagi mendominasinya mata uang dollar tersebut, membawa konsekuensi politik yang besar, dimana sebagaimana kita ketahui bahwa Amerika Serikat selama ini menggunakan mata uang dollar untuk menekan dan mengontrol negara-negara lain. Dengan demikian, kontrol negara adidaya tersebut mengalami pelemahan, dan memungkinkan (memberikan peluang) kepada negara-negara yang selama tergantung pada Amerika Serikat untuk keluar dari cengkeramannya.
Contoh kasus lain adalah bahwa efek dari virus corona ini telah membuat organisasi-organisasi transnasional dan internasional (PBB, ASEAN, Uni Eropa, NATO, WHO, dan lain-lain) seperti kerbau yang dicocok hidungnya, bahkan bisa dibilang sudah mati sebelum kedatangan malaikat maut. Organisasi-organisasi tersebut tidak berdaya menghadapi virus corona. Situasi seperti ini memberikan peluang bagi perlunya untuk melakukan reformasi atau bahkan pembubaran pada organisasi-organisasi tersebut. Oh ya, termasuk FIFA karena pertandingan sepakbola pun ikut berhenti total.
Singkatnya, saya mau bilang bahwa wabah virus corona memiliki implikasi geopolitik yang sangat besar. Dunia (situasi dan kondisi) sebelum tahun 2020 dengan setelah 2020 tidak akan pernah sama lagi. Meskipun begitu, masih terlalu dini untuk mengatakan seperti apa gambaran dunia itu nantinya. Yang jelas, hingga hari ini, wabah belum hilang, bahkan banyak yang memprediksi jika wabah ini belum mencapai titik puncaknya. Ibarat permainan sepakbola, situasi saat ini masih dalam tahap pemanasan. Data hari ini (5 Mei) menunjukkan jumlah kasus infeksi seluruh dunia sudah mencapai 3.671.656 kasus, 253.235 meninggal dan 1.211.183 yang tersembuhkan. Jumlah kasus dan kematian tertinggi tetap di Amerika Serikat (1.213.871 kasus dan 69.968 orang meninggal dunia), disusul Spanyol, Italia, Inggris, Perancis, Jerman dan Rusia. Sulitnya membuat gambaran dunia di masa mendatang, setidaknya bisa kita lihat dari beberapa pertanyaan penting (susah untuk dijawab) ini:
1. Pada akhirnya, apa kerugian yang akan diderita umat manusia? Di akhir nanti, berapa jumlah kematian?
2. Siapakah yang bisa menghentikan penyebaran virus tersebut, dan bagaimana caranya?
3. Apa konsekuensi nyata bagi orang-orang yang sakit corona namun sembuh, dan orang-orang yang tidak terinfeksi (selamat)?
Yang jelas, tidak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan tepat, dan oleh karenanya, kita bahkan tidak bisa membayangkan kerusakan yang sebenarnya. Namun, sejak wabah ini muncul, beberapa perubahan geopolitik global sudah terlihat cukup jelas dan sebagian besar sudah tidak dapat diubah. Tidak peduli bagaimana peristiwa kemudian terungkap, sesuatu telah berubah dalam tatanan dunia sekali dan untuk semua. Contohnya, di tengah-tengah kebingungan menghadapi wabah, negara-negara seperti Cina, Cuba, Rusia, Vietnam dan Venezuela (seminggu terakhir ini ditambah Iran) terlibat aktif memberikan solidaritas kemanusiaan kepada negara-negara yang dilanda musibah corona. Mereka terlihat begitu “enjoy”, sedangkan negara-negara lain yang dikenal serba “waoouww” seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan lain-lain justru terlihat seperti orang-orang yang mengidap penyakit lumpuh layu alias loyo. Intinya, ada ketidakpercayaan dan kehilangan kepercayaan antara negara satu dengan lainnya.
Bagi teman-teman yang belajar hubungan internasional, pasti mengenal istilah “unipolar”. Sederhananya, dunia yang dikuasai oleh kekuatan tunggal, yakni Amerika Serikat, lebih-lebih sejak runtuhnya Uni Soviet tahun 1990-an. Namun, tanda-tanda mencairnya unipolar ini sudah mulai terlihat sejak awal tahun 2000-an, yang ditandai dengan peristiwa WTC 9 September, menguatnya pertumbuhan ekonomi Cina, kembalinya Rusia dengan kebijakan globalnya Putin sebagai entitas yang semakin berdaulat, kebangkitan dunia Islam, meningkatnya krisis imigran dan tingginya populisme di Eropa dan bahkan di Amerika Serikat sendiri dengan berkuasanya Donald Trump. Amerika Serikat dan Eropa sebagai simbol dan sekaligus kekuatan kapitalisme global, hari ini menghadapi situasi yang krisis. Singkatnya adalah, mulai terjadi adanya polarisasi kekuatan baru (mengarah pada multipolar) dengan aktor-aktor baru.
Selain itu, tanda-tanda runtuhnya kapitalisme global, bisa kita lihat dari hancurnya narasi-narasi “indah” yang mereka kampanyekan selama ini seperti:
Pertama, konsep efektivitas perbatasan terbuka dan saling ketergantungan negara-negara di dunia. Uni Eropa adalah contoh kasus mengenai konsep “tidak ada batas” negara. Namun, semenjak wabah ini muncul, masing-masing negara yang tergabung dalam Uni Eropa ramai-ramai “menutup” perbatasan. Hal serupa juga dilakukan oleh hampir semua negara sambil bilang: “kami menutup pintu masuk negara kami!”
Kedua, kemampuan lembaga-lembaga supranasional dalam menghadapi situasi yang gawat ini, yang sebelumnya dikampanyekan sebagai lembaga “serba bisa”. Faktanya adalah lembaga-lembaga tersebut tidak mampu berbuat banyak untuk menolong atau membantu negara-negara yang terinfeksi virus corona.
Ketiga, kelangsungan hidup sistem keuangan global dan ekonomi dunia secara keseluruhan mulai diragukan. Silahkan buka kembali mengenai terbentuknya lembaga-lembaga keuangan dunia setelah Perang Dunia Kedua!
Keempat, narasi atau black propaganda pendukung kapitalisme dan atau neoliberalisme yang selama ini menyebut bahwa negara-negara berideologi sosialisme atau komunisme adalah negara-negara yang ketinggalan zaman, otoriter, tidak berperikemanusian, anti demokrasi, anti Hak Asasi Manusia. Hari ini, fakta menunjukkan bahwa negara-negara tersebut terlihat lebih efesien dan efektif saat menghadapi wabah virus corona. Negara-negara ini juga yang justru berdiri di garis depan dalam hal solidaritas kemanusiaan internasional (Cina, Cuba, Vietnam, Venezuela, dan lainnya).
Kelima, narasi dan kampanye bahwa negara-negara yang menganut liberalisme (kapitalisme) adalah negara yang paling maju, baik, kuat dan sempurna. Hari ini, fakta berbicara bahwa negara-negara berfaham liberalisme justru hancur babak belur saat berhadapan dengan virus corona, seperti yang dialami oleh Amerika Serikat, Inggris, dan lainnya.
Sementara ini dulu. Kalau diteruskan terlalu panjang. Terima kasih!
---
Boa noite
Selamat malam
#KaumMerah
🌹🌹🌹🌹🌹lut
Tatanan dunia juga ikut jatuh. Benar. Sebagai contoh, kemarin (4 Mei), saya membaca berita bahwa Cina telah secara resmi menyatakan tidak akan lagi menggunakan mata uang dollar dalam transaksi bursa sahamnya. Cina akan menggunakan mata uangnya sendiri, yakni Yuan. Artinya apa? Artinya tatanan dunia keuangan akan mengalami perubahan. Selain nilainya jatuh, maka mata uang dollar Amerika Serikat tidak lagi mendominasi transaksi ekonomi (keuangan) dunia. Tidak lagi mendominasinya mata uang dollar tersebut, membawa konsekuensi politik yang besar, dimana sebagaimana kita ketahui bahwa Amerika Serikat selama ini menggunakan mata uang dollar untuk menekan dan mengontrol negara-negara lain. Dengan demikian, kontrol negara adidaya tersebut mengalami pelemahan, dan memungkinkan (memberikan peluang) kepada negara-negara yang selama tergantung pada Amerika Serikat untuk keluar dari cengkeramannya.
Contoh kasus lain adalah bahwa efek dari virus corona ini telah membuat organisasi-organisasi transnasional dan internasional (PBB, ASEAN, Uni Eropa, NATO, WHO, dan lain-lain) seperti kerbau yang dicocok hidungnya, bahkan bisa dibilang sudah mati sebelum kedatangan malaikat maut. Organisasi-organisasi tersebut tidak berdaya menghadapi virus corona. Situasi seperti ini memberikan peluang bagi perlunya untuk melakukan reformasi atau bahkan pembubaran pada organisasi-organisasi tersebut. Oh ya, termasuk FIFA karena pertandingan sepakbola pun ikut berhenti total.
Singkatnya, saya mau bilang bahwa wabah virus corona memiliki implikasi geopolitik yang sangat besar. Dunia (situasi dan kondisi) sebelum tahun 2020 dengan setelah 2020 tidak akan pernah sama lagi. Meskipun begitu, masih terlalu dini untuk mengatakan seperti apa gambaran dunia itu nantinya. Yang jelas, hingga hari ini, wabah belum hilang, bahkan banyak yang memprediksi jika wabah ini belum mencapai titik puncaknya. Ibarat permainan sepakbola, situasi saat ini masih dalam tahap pemanasan. Data hari ini (5 Mei) menunjukkan jumlah kasus infeksi seluruh dunia sudah mencapai 3.671.656 kasus, 253.235 meninggal dan 1.211.183 yang tersembuhkan. Jumlah kasus dan kematian tertinggi tetap di Amerika Serikat (1.213.871 kasus dan 69.968 orang meninggal dunia), disusul Spanyol, Italia, Inggris, Perancis, Jerman dan Rusia. Sulitnya membuat gambaran dunia di masa mendatang, setidaknya bisa kita lihat dari beberapa pertanyaan penting (susah untuk dijawab) ini:
1. Pada akhirnya, apa kerugian yang akan diderita umat manusia? Di akhir nanti, berapa jumlah kematian?
2. Siapakah yang bisa menghentikan penyebaran virus tersebut, dan bagaimana caranya?
3. Apa konsekuensi nyata bagi orang-orang yang sakit corona namun sembuh, dan orang-orang yang tidak terinfeksi (selamat)?
Yang jelas, tidak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan tepat, dan oleh karenanya, kita bahkan tidak bisa membayangkan kerusakan yang sebenarnya. Namun, sejak wabah ini muncul, beberapa perubahan geopolitik global sudah terlihat cukup jelas dan sebagian besar sudah tidak dapat diubah. Tidak peduli bagaimana peristiwa kemudian terungkap, sesuatu telah berubah dalam tatanan dunia sekali dan untuk semua. Contohnya, di tengah-tengah kebingungan menghadapi wabah, negara-negara seperti Cina, Cuba, Rusia, Vietnam dan Venezuela (seminggu terakhir ini ditambah Iran) terlibat aktif memberikan solidaritas kemanusiaan kepada negara-negara yang dilanda musibah corona. Mereka terlihat begitu “enjoy”, sedangkan negara-negara lain yang dikenal serba “waoouww” seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan lain-lain justru terlihat seperti orang-orang yang mengidap penyakit lumpuh layu alias loyo. Intinya, ada ketidakpercayaan dan kehilangan kepercayaan antara negara satu dengan lainnya.
Bagi teman-teman yang belajar hubungan internasional, pasti mengenal istilah “unipolar”. Sederhananya, dunia yang dikuasai oleh kekuatan tunggal, yakni Amerika Serikat, lebih-lebih sejak runtuhnya Uni Soviet tahun 1990-an. Namun, tanda-tanda mencairnya unipolar ini sudah mulai terlihat sejak awal tahun 2000-an, yang ditandai dengan peristiwa WTC 9 September, menguatnya pertumbuhan ekonomi Cina, kembalinya Rusia dengan kebijakan globalnya Putin sebagai entitas yang semakin berdaulat, kebangkitan dunia Islam, meningkatnya krisis imigran dan tingginya populisme di Eropa dan bahkan di Amerika Serikat sendiri dengan berkuasanya Donald Trump. Amerika Serikat dan Eropa sebagai simbol dan sekaligus kekuatan kapitalisme global, hari ini menghadapi situasi yang krisis. Singkatnya adalah, mulai terjadi adanya polarisasi kekuatan baru (mengarah pada multipolar) dengan aktor-aktor baru.
Selain itu, tanda-tanda runtuhnya kapitalisme global, bisa kita lihat dari hancurnya narasi-narasi “indah” yang mereka kampanyekan selama ini seperti:
Pertama, konsep efektivitas perbatasan terbuka dan saling ketergantungan negara-negara di dunia. Uni Eropa adalah contoh kasus mengenai konsep “tidak ada batas” negara. Namun, semenjak wabah ini muncul, masing-masing negara yang tergabung dalam Uni Eropa ramai-ramai “menutup” perbatasan. Hal serupa juga dilakukan oleh hampir semua negara sambil bilang: “kami menutup pintu masuk negara kami!”
Kedua, kemampuan lembaga-lembaga supranasional dalam menghadapi situasi yang gawat ini, yang sebelumnya dikampanyekan sebagai lembaga “serba bisa”. Faktanya adalah lembaga-lembaga tersebut tidak mampu berbuat banyak untuk menolong atau membantu negara-negara yang terinfeksi virus corona.
Ketiga, kelangsungan hidup sistem keuangan global dan ekonomi dunia secara keseluruhan mulai diragukan. Silahkan buka kembali mengenai terbentuknya lembaga-lembaga keuangan dunia setelah Perang Dunia Kedua!
Keempat, narasi atau black propaganda pendukung kapitalisme dan atau neoliberalisme yang selama ini menyebut bahwa negara-negara berideologi sosialisme atau komunisme adalah negara-negara yang ketinggalan zaman, otoriter, tidak berperikemanusian, anti demokrasi, anti Hak Asasi Manusia. Hari ini, fakta menunjukkan bahwa negara-negara tersebut terlihat lebih efesien dan efektif saat menghadapi wabah virus corona. Negara-negara ini juga yang justru berdiri di garis depan dalam hal solidaritas kemanusiaan internasional (Cina, Cuba, Vietnam, Venezuela, dan lainnya).
Kelima, narasi dan kampanye bahwa negara-negara yang menganut liberalisme (kapitalisme) adalah negara yang paling maju, baik, kuat dan sempurna. Hari ini, fakta berbicara bahwa negara-negara berfaham liberalisme justru hancur babak belur saat berhadapan dengan virus corona, seperti yang dialami oleh Amerika Serikat, Inggris, dan lainnya.
Sementara ini dulu. Kalau diteruskan terlalu panjang. Terima kasih!
---
Boa noite
Selamat malam
#KaumMerah
🌹🌹🌹🌹🌹lut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar